Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan penguatan signifikan terhadap berbagai mata uang global, termasuk rupiah. Kenaikan ini dipicu oleh sejumlah faktor makroekonomi seperti lonjakan inflasi di AS, kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump, serta ketidakpastian arah suku bunga acuan oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Berdasarkan data dari Refinitiv, Indeks Dolar AS (DXY), yang mencerminkan kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, mengalami peningkatan sepanjang Juli 2025. Indeks yang sempat menyentuh level terendah dalam tiga tahun terakhir di angka 96,37 pada awal bulan, kini bergerak naik secara konsisten.
DXY mencatatkan kenaikan selama tujuh hari berturut-turut dan ditutup di level 98,61 — naik 2,32% dari posisi terendahnya. Ini merupakan posisi tertinggi sejak 23 Juni 2025 dan menjadi sinyal menguatnya kembali dominasi dolar di pasar global.
Inflasi AS Meningkat, Kebijakan The Fed Dinanti
Katalis utama penguatan dolar berasal dari meningkatnya inflasi di AS. Data menunjukkan inflasi tahunan pada Juni 2025 naik menjadi 2,7% dari sebelumnya 2,4%. Inflasi inti — yang mengecualikan makanan dan energi — juga meningkat menjadi 2,9%.
Beberapa kelompok harga yang mencatat kenaikan signifikan antara lain:
Makanan: naik menjadi 3% dari 2,9%
Jasa transportasi: naik menjadi 3,4% dari 2,8%
Mobil dan truk bekas: naik menjadi 2,8% dari 1,8%
Sementara itu, harga energi hanya turun 0,8%, lebih lambat dibanding penurunan 3,5% pada Mei. Harga gas alam melonjak 14,2%.
Indeks Harga Konsumen (CPI) secara bulanan juga naik 0,3%, tertinggi dalam lima bulan terakhir. Kenaikan ini membuat pasar memperkirakan bahwa The Fed kemungkinan akan menunda pemangkasan suku bunga hingga kondisi inflasi lebih terkendali.
Efek Tarif Impor dan Tekanan Harga Konsumen
Penguatan inflasi juga dipengaruhi oleh dampak kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump. Biaya impor yang lebih tinggi memicu kenaikan harga sejumlah barang konsumsi seperti furnitur, elektronik, dan pakaian.
Badan Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) mencatat bahwa inflasi bulanan pada Juni naik sebesar 0,3%, melanjutkan tren kenaikan dari April (0,2%) dan Mei (0,1%), serta mengakhiri tren penurunan dari Maret (-0,1%).
Kondisi ini kembali menyoroti ketidakpastian arah kebijakan moneter The Fed, yang selama ini menjadi acuan bagi pasar keuangan global.
Dampak Langsung ke Indonesia: Rupiah Tertekan
Kenaikan indeks dolar AS berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Dari data Refinitiv, rupiah yang sempat berada di level Rp16.185 per dolar AS pada 1 Juli 2025, melemah ke Rp16.292 per dolar AS pada 15 Juli 2025, turun sekitar 0,66%.
Pelemahan rupiah berdampak pada sejumlah sektor di Indonesia, baik di pasar keuangan maupun sektor riil. Berikut adalah tiga sektor utama yang terdampak:
1. Pasar Saham: Dampak Berbeda untuk Eksportir dan Importir
Eksportir: Perusahaan yang menjual produknya ke luar negeri seperti batu bara, CPO, dan tekstil cenderung diuntungkan. Konversi pendapatan dolar ke rupiah menjadi lebih besar.
Contoh emiten: PTBA, ITMG, LSIP, TPIA, MDKA.
Importir dan produsen domestik: Perusahaan yang membeli bahan baku dalam dolar tetapi menjual di pasar domestik (rupiah) mengalami kenaikan biaya produksi. Sektor yang rentan termasuk ritel, otomotif, makanan-minuman, dan farmasi. Perusahaan dengan utang valas juga menghadapi tekanan terhadap biaya bunga dan pokok pinjaman.
2. Surat Berharga Negara (SBN): Yield Naik dan Risiko Capital Outflow
Investor asing yang memegang SBN cenderung mengalihkan aset ke instrumen dolar ketika rupiah melemah. Akibatnya, harga SBN turun dan yield naik. Selain itu, Bank Indonesia mungkin akan mempertimbangkan kenaikan suku bunga untuk menahan depresiasi rupiah, yang berdampak pada naiknya biaya utang pemerintah.
3. Aktivitas Impor: Harga Barang Naik, Potensi Inflasi Domestik
Rupiah yang melemah membuat harga barang impor seperti elektronik, kendaraan, bahan kimia, serta bahan baku industri menjadi lebih mahal. Ini dapat mendorong inflasi jika harga tersebut naik di tingkat konsumen. Ketika inflasi naik namun daya beli masyarakat tetap, maka konsumsi rumah tangga — sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi — dapat tertekan.
Penguatan dolar AS dipicu oleh kombinasi faktor domestik AS, mulai dari inflasi yang naik, kebijakan tarif, hingga ketidakpastian suku bunga. Dampaknya tidak hanya terasa di AS, tetapi juga secara global, termasuk Indonesia. Ketahanan nilai tukar rupiah, kinerja pasar saham, dan stabilitas harga barang impor menjadi indikator penting yang perlu terus dipantau oleh pelaku pasar dan otoritas moneter nasional.